Farmakoterapi LES

TUGAS FARMAKOTERAPI

PENYAKIT LUPUS





ASFY NURANY
AYU LESTARI CAHYANIGSIH
FARAH AFIFAH
WAFA AUFIA
NIDA FARADISA
NURSALINDA





PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
NGAWI
2016

A.    Pendahuluan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem imunologi yang dapat menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. LES tergolong penyakit kolagen vaskular, yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem musculos keletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Tingkat LES sangat bervariasi antar negara, etnis, usia, gender, dan perubahan dari waktu ke waktu. Penyakit ini terjadi 9 kali lebih sering pada wanita dibanding pada pria, terutama pada wanita di usia melahirkan anak sekitar 15 sampai 35 tahun.
Penyebab LES masih belum diketahui secara pasti. Sedikit keraguan bahwa penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik. Etiologi lain yang didugadapatmenyebabkan LES antara lain induksi obat, genetik, dan virus.
Gejala paling sering pada LES adalah pada sistem musculoskeletal, berupa arthritis atau arthralgia (93%) dan seringkali mendahului gejala-gejala lainnya. Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus LES, kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus LES. Kelainan lain dapat berupa jantung, paru, abdomen, pembesaran kelenjar getah bening sering atau manifestasi neuropsikiatrik.
Untuk membedakan lupus dengan penyakit lain, ahli medis dari American Rheumatism Association telah menetapkan 11 kriteria kelainan yang terjadi dalam mendiagnosis LES yaitu bila 4 poin dari 11 manifestasi kelainan. Kriteria ini dikemukakan oleh Dr. Graham Hughes pada tahun 1982 yaitu ruam malar, ruam diskoid, foto sensitifitas, ulser pada rongga mulut, artritis, serositis, gangguan pada ginjal, gangguan pada sistem saraf, gangguan perdarahan, gangguan imunologis, dan antibodi antinuclear.
B.     Epidemologi
Prevalensi LES diberbagai Negara sangat bervariasi antara 2.9/100.000- 400/100.000. dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. LES dapat ditemukan pada semua usia, namun paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan pria yaitu berkisar (5,5-9) : 1. Pada LES yang disebabkan obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2
C.    Etiologi
Etiologi utama LES belum diketahui pastinya, namun terdapat beebrapa faktor yang dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini,meski belum diketahui faktor yang paling dominan diantara faktor- faktor tersebut, berikut ini beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit LES
1.      Faktor Genetik
Berbagai gen dapatberperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita LES telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot beresiko menderita LES, sementara pada kembar monozigot, resiko terjadinya LES adalah 58%. Resiko terjadinya LES pada individuyang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Adapun beberapa studi menegenai genome yang menunjukkan identifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan LES. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA-DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2) telah dikaitkan dengan timbulnya LES. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor resiko tertinggi yang dapat menimbulkan LES. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan beresiko menderita LES. Di kaukasia juga dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan beresiko lebih tinggi menderita LES.
2.      Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a.       Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen PresentingCell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapareseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupunfungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal inimenyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenaliperintah dari sel T.
b.      Kelainan intrinstik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun, sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobin dan auto antibodi menjadi tidak normal.
c.       Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada LES, sepertisubstrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagi antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

3.      Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LES. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogem yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor terjadinya LES.
4.      Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya LES. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a.       Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya LES. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella
b.      Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit LES dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi ditempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c.       Stress
Stress berat dapat memicu terjadinya LES pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakt ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stress. Stress sendiri tidak akan mencetuskan LES pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d.      Obat-obatan
Obat pada pasien LES dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya adalah kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid dan isoniazid.
D.    Patofisiologi
Pada pasien(Systemic Lupus Erythrmatosus) SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Joseph T. DiPiro et al. 2008).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya  produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T. Abnormalitas dan diregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90  (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan  subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya  supresi  dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Sweetman, Sean C. 2002).                
Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Joseph T. DiPiro et al. 2008).
Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Joseph T. DiPiro et al. 2008).

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena  lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan  mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Joseph T. DiPiro et al. 2008).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat  (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan  komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi.  Sedangkan  pada  SLE  yang  terjadi  adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yangakan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Joseph T. DiPiro et al. 2008).
E.     Tanda dan Gejala
1.      Adanya bercak merah pada wajah
2.      Penderita merasa lelah dan lemah
3.      Merasa tidak enak badan
4.      Sering mengalami kejang
5.      Kepala terasa sakit
6.      Ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari
7.      Nyeri otot
8.      Radang sendi
F.     Diagnosis
Diagnosis LES adalah berdasarkan pada ciri khas dari penyakit. Pasienharus ada paling tidak 4 dari 11 ciri khas dari penyakit. Biasanya akan diauskultasiuntuk mendengarkan suara heart friction rub atau pleural friction rub. Selain itu, ujian neurologis juga akan dilakukan. Tes yang digunakan untuk mendiagnosa LESdapat meliputi tes antibodi (ANA panel, Anti-double strand (ds) DNA,Antiphospholipid antibody, dan Anti-Smith antibody), dan CBC (complete bloodcount) untuk menunjukkan jumlah sel darah putih, hemoglobin, atau platelet. Selainitu, sinar-X dada untuk menunjukkan pleuritis atau perikarditis. Juga dilakukanbiopsy ginjal dan pemeriksaan urin untuk menunjukkan darah atau protein dalamurin. (Borigini, M.J, 2010)
G.    Tatalaksana Terapi
a.       Farmakologik
Tidak ada obat untuk LES tetapi pengobatan ditujukan untuk mengontrolgejala berdasarkan gejala individual. Penyakit ringan yang melibatkan ruam, sakitkepala, demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis tidak memerlukan terapi banyak.Biasanya OAINS digunakan untuk mengobati rematik dan pleuritis. Krimkortikosteroid digunakan untuk mengobati ruam kulit. Obat antimalaria (hidroksiklorokuin) dan kortikosteroid dosis rendah kadang-kadang digunakan untuk gejala kulit dan artritis. Kortikosteroid atau obat untuk mengurangi responsistem kekebalan tubuh mungkin diresepkan untuk mengontrol gejala lain. Obatsitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) digunakan untuk mengobati orang yang tidak merespon dengan baik terhadap kortikosteroid, atau yang tidak dapat berhenti mengkonsumsi kortikosteroid tanpa gejala mereka semakin buruk.(Borigini, M.J., 2010)


b.      Non farmakologik
Secara non farmakologi, pasien disuruh memakai pakaian pelindung, kacamatahitam, dan tabir matahari ketika di bawah sinar matahari. (Borigini, M.J., 2010)
H.    Reference

Joseph T. DiPiro et al. 2008. Pharmacoterapy A Pathophysiologic Approach seventh edition.        McGrawHill : Companies Inc. USA.
Sweetma, Sea C. 2002. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Third Edition. London. Chicago: Pharmaceutical Press.
Borigini, M.J. 2010. Systemic Lupus Erythematosus. Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.html.
Perhimpunan Parahitna Malang. 2011. Penyakit Lupus: Diagnosis Dan Penatalaksanaannya. Artikel dikirim Oleh Humas pada 31 Oktober 2011. Malang.
Sukmana, Nanang. Lupus Eritematosus Sistemik. Imunopatogenesis dan Penatalaksanaan. Subbagian Alergi-Imunologi klinik. Bagia Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Jakarta.



0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Perfil