BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI REKTUM

BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI REKTUM
  VASKULARISASI DI REKTUM
Revaud (1936) menyimpulkan bahwa penyerapan di rektum dapat terjadi dengan tiga cara :
  1. Lewat pembuluh darah secara langsung
  2. Lewat pembuluh darah getah bening
  3. Lewat pembuluh darah secara tidak langsung
Cara transport zat aktif dalam tubuh setelah pemberian dan penyerapan melalui rektum
  Bentuk Sediaan Obat Melalui Rektum
          PADAT, Suppositoria
          CAIRAN, Enema, lavement nutritif
          KAPSUL REKTUM
OBAT MELALUI REKTUM
v  Pemberian obat melalui rektum pada umumnya untuk mendapatkan efek lokal dari obat (misalnya : hemmorrhoid, fisura ani, rhagade ani  atau untuk pengosongan rektum).
v  Untuk efek sistemik pemberian obat melalui rektum hanya kalau medikasi oral tidak memungkinkan. »» Contoh, asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin, barbiturat.
Untuk mendapatkan efek sistemik, pemberian obat melalui rektal dimungkinkan bila :
  • Penderita dalam keadaan muntah atau terdapat gangguan saluran cerna.
  • Bila terdapat kemungkinan zat aktif rusak oleh getah lambung yang asam, atau oleh enzim usus.
  • Bila zat aktif mengalami kerusakan pada pelintasan pertama melalui hati.
  • Bila penderita menolak untuk menelan obat dengan alasan karakter organoleptis, atau untuk menghindari cara pemberian parenteral.
Beberapa Kelemahan Pemberian Obat Melalui Rektum
  • Obat tercampur dengan feses yang ada di rektum yang dapat menghambat absorpsi obat.
  • Absorpsi tidak sempurna, karena cairan dalam rektum untuk disolusi obat terbatas, tidak sebanyak cairan gastrointestinal.
  • Luas permukaan untuk absorpsi juga terbatas, tidak seluas permukaan gastrointestinal.
ABSORPSI OBAT MELALUI REKTUM àMekanisme absorpsi terutama secara difusi pasif. Bioavailabilitas relatif rendah, karena kelemahan-kelemahan yang diuraikan di atas .
Waktu Pemberian Obat  à Waktu pemberian obat melalui rektum yang tepat ialah post-defaecatio, supaya obat tidak cepat dikeluarkan sebelum sempat  diabsorpsi.
Suppositoria
Mekanisme Kerja Supositoria
Pemahaman anatomi rektum dan cara penyerapan zat aktif dalam organ tubuh dari rektum, mekanisme kerja supositoria dibagi atas tiga kelompok :
  • Supositoria berefek mekanik
Terutama pada supositoria gliserin, terjadi fenomena osmose yang disebabkan oleh afinitas gliserin terhadap air. Hal tersebut menyebab-kan eksudasi usus sehingga menimbulkan gerakan peristaltik.
  • Suppositoria berefek setempat
Termasuk dalam kelompok ini adalah supositoria anti wasir. Formula anti wasir sangat banyak dan sebagian besar sangat spesifik. Ke dalam basis supositoria yang sangat beragam kadang-kadang ditambahkan senyawa peringkas pori, baik dengan cara penyempitan maupun hemostatik seperti senyawa hemamilidis atau buah sarangan dari India, adrenalina ataupun antiseptik seperti iodoform. Pemakaian setempat juga berlaku untuk supositoria betanaftol yang digunakan sebagai obat cacing.
  • Suppositoria berefek sistemik
A.     Supositoria Nutritif
Suppositoria nutritif digunakan pada penyakit tertentu dimana saluran cerna tidak dapat menyerap makanan. Hanya dapat diberikan makanan yang langsung diserap (misalnya pepton), karena rektum tidak dapat mencerna. Selain melalui supositoria dapat juga diberikan melalui lavement. 
B.     Supositoria Berefek Obat
Supositoria tersebut mengandung zat aktif yang harus diserap, mempunyai efek sistemik dan bukan efek setempat.
Contoh : aminofilin dan teofilin untuk asma, chlorprozamin untuk anti muntah, chloral hydrat untuk sedatif dan hipnotif, aspirin untuk analgesik antipiretik, dll.
Kinetika pre-disposisi zat aktif terdiri atas dua tahap :
  1. Penghancuran sediaan, lalu
  2. Pemindahan dan pelarutan zat aktif ke dalam cairan rektum, diikuti difusi menuju membran atau berdifusi melintasi membran agar dapat mencapai sistem peredaran darah (sistemik).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinetika penyerapan zat aktif yang diberikan per-rektum :
  1. Kedudukan supositoria setelah pemakaian
  2. Waktu tinggal supositoria di dalam rektum
  3. pH cairan rektum
Membran rektum terdiri dari sel epitel yang sifat lipidanya terjadi terutama oleh mekanisme transport pasif yang  tergantung pada :
»» Koefisien partisi zat aktif dalam minyak/air
»» pKa zat aktif
»» pH cairan yang merendam membran (bersifat netral (7,5 sampai  8)
Pemilihan Bahan Pembawa
Pemilihan bahan pembawa terutama mempertimbangkan sifat fisiko kimia zat aktif.
  • Zat aktif larut air, lebih disukai menggunakan basis berlemak dengan suhu lebur lebih kecil dari suhu rektum.
  • Zat aktif sukar larut, maka sebaiknya digunakan dalam partikel halus, atau dengan mengubah pH cairan rektum atau mengubah tetapan dielektrik bahan pembawanya.
  • Zat aktif dalam bentuk cairan, dan dapat melarutkan pembawa, maka harus dipilih pembawa yang mempunyai konsistensi (untuk pembawa larut air) atau suhu lebur (untuk pembawa lemak) yang tinggi dari  zat aktif tersebut.
  • Zat aktif dapat bereaksi dengan bahan pembawa tertentu dan menghasilkan campuran eutetik dengan suhu lebur yang sangat rendah, maka diperlukan pembawa dengan konsisitensi dan suhu lebur yang sesuai.
  • Bila terdapat senyawa hidrofil atau berair atau hidrogliserin, maka sebaiknya dipilih pembawa yang dapat diemulsikan dengan cepat.
  • Bila bobot jenisnya sangat tinggi, maka sebaiknya dipilih bahan pembawa dengan laju pelarutan yang cepat.
Faktor Patofisiologi yang mempengaruhi penyerapan melalui rektum
·         Masih belum begitu banyak penelitian yang membahas pengaruh faktor fisiologi atau pato-fisiologi yang dapat mempengaruhi  penyerapan melalui rektum.
·         Subyek  yang demam menunjukkan penyerapan yang lebih baik bila zat aktif berada dalam pembawa berlemak.

·         Subyek  dengan gangguan transisi saluran cerna dengan diare tidak dapat diberi pengobatan sistemik melalui rektum.

BIOFARMASI SEDIAAN OBAT YANG DIBERIKAN SECARA ORAL

BIOFARMASI SEDIAAN OBAT YANG DIBERIKAN SECARA ORAL
Faktor-Faktor Fisio-Patologi Penderita yang Mempengaruhi  Absorpsi Obat yang Diberikan per-Oral
Faktor-Faktor Fisiologik
  1. Luas area untuk absorpsi
  2. Umur penderita
  3. Sifat membran biologik
  4. Kecepatan transit obat di lambung dan usus
  5. Modifikasi pH dan formulasi obat
  6. Tegangan permukaan
  7. Viscositas
  8. Bahan-bahan normal dalam saluran cerna yang berpengaruh terhadap obat
a.       Mucin; »» pembentukan kompleks dengan streptomycin, dihidrostreptomycin, anticholinergik.
b.      Garam empedu; »» mempermudah absorpsi lemak yang tidak larut dalam air  (dengan pembentukan misella), sebaliknya memperlambat absorpsi dari nystatin, polymixin, tobocurarin.
c.       Ion-ion tertentu : Ca, Mg, Fe »» dapat membentuk ‘chelat’ dengan obat tertentu » obat tidak dapat diabsorpsi.
d.      Flora usus; Flora usus mengeluarkan enzim, misalnya penisilinase yang mengaktivasi zat aktif tertentu.
e.       Enzim-enzim
f.       Makanan .


Faktor-Faktor Patologik
          Gangguan Fungsi Sekresi
Sekresi normal dalam tubuh dapat dikacaukan oleh keadaan psikis penderita : sekresi distimulasi pada individu yang terangsang/marah; sebaliknya sekresi berkurang pada individu yang depresif.

          Gangguan Fungsi Transit
☻ Lamanya obat berada dalam lambung dipersingkat  dalam hal stenosis (penyempitan abnormal)  dari pylorus, tukak lambung dekat pylorus, diabetes, dan myxoedema (pembengkakan kelenjar tyroid).
☻ Sebaliknya, waktu keberadaan obat dalam lambung dipersingkat dalam hal tukak duodenal, keadaan stress.
☻ Lamanya atau cepatnya transit obat dalam saluran cerna juga banyak tergantung pada sistem simpatika-parasimpatika.
          Gangguan Fungsi Absorpsi
a.       Pengurangan area untuk absorpsi; misalnya terdapat lesi/luka.
b.      Modifikasi lingkungan intestinal; misalnya antibiotika spektrum luas dapat mengubah flora dalam usus halus.
c.       Tidak adanya molekul untuk transpor  obat, mengurangi absorpsi transport obat.
d.      Adanya hambatan, misalnya tumor  juga  dapat mempengaruhi absorpsi obat.
Interaksi Obat Pada Proses Absorpsi
A. Interaksi langsung
      Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi. Hal ini dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan bila obat yang berinteraksi diberikan dengan jarak waktu minimal 2 jam.
B. Perubahan pH cairan saluran cerna
v  Cairan saluran cerna yang alkalis misalnya akibat antasid akan meningkatkan kelarutan obat bersifat asam yang sukar larut dalam cairan tersebut, misalnya aspirin.
v  Akan tetapi suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam saluran cerna, dengan cara mengurangi absorbsinya.
v  Berkurangnya keasaman lambung akibat antasid akan mengurangi perusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya.

C. Perubahan waktu pengosongan lambung dan waktu   transit di dalam usus (Motilitas saluran cerna)
Ø  Usus halus adalah tempat absorbsi utama untuk semua obat termasuk obat yang bersifat asam. Oleh karena itu lebih cepat obat sampai di usus halus, maka makin cepat pula absorbsinya.
Ø  Dengan demikian, obat yang memperpendek waktu pengosongan lambung, misalnya metoklopropamid, akan mempercepat absorpsi obat lain yang diberikan pada waktu yang sama.
Ø  Sebaliknya, obat yang memperpanjang waktu pengosongan lambung misalnya antikolinergik, antidepresi trisiklik, akan memperlambat absorbsi obat lain.
D. Perubahan Flora Usus
v  Pemberian antibakteri berspektrum luas (misalnya tetrasiklin, kloramfenikol, ampisilin, sulfonamid) akan mengubah/mensupresi flora normal usus
v  dengan akibat meningkatkan efektifitas antikoagulan oral (antagonis vitamin K) yang diberikan bersama, mengurangi efektivitas sulfasalazin, meningkatkan bioavilabilitas levodopa, dan mengurangi efektivitas kontrasepsi oral.
Memperpanjang Waktu Aksi Obat Dan Sediaan Oral Dengan Pelepasan Terkendali
MEMPERPANJANG WAKTU AKSI OBAT
 
Kurva konsentrasi dalam plasma yang diperoleh setelah pemberian dosis penjagaan D yang disertai dengan atau tidak disertai dosis tambahan D* dengan rentang T yang sama dengan waktu T1/2 biologik obat. Bila harga D*/D = 2, maka keseimbangan segera terjadi setelah pemberian dosis awal.
A. Sediaan dengan pelepasan atau aksi dipertahankan
Mula-mula melepaskan  zat aktif dalam jumlah cukup untuk mendapatkan ketersediaanhayati yang dikehandaki atau untuk mendapatkan efek farmakologi secepatnya, dan dapat menjaga aktivitasnya dalam waktu yang lebih lama dari bila obat diberikan dalam dosis tunggal.
Laju pelepasan zat aktif setelah pelepasan dosis awal sama dengan laju peniadaan atau inaktivasi zat aktif.
B. Sediaan dengan aksi diperpanjang
Sediaan yang memberikan ketersediaanhayati yang diingin-kan dengan jumlah zat aktif yang cukup, atau mungkin ber-lebih (tapi tdk berbahaya) dibandingkan jumlah yang diperlukan untuk mendapatkan aksi terapetik yang serupa pada pemberian dosis tunggal.
Laju pelepasan zat aktif akan meningkat (yang dapat diperkirakan) dan waktu aksinya lebih lama dibandingkan dengan dosis tunggal.

C. Sediaan dengan aksi berulang
Sediaan seperti penyediaan dosis tunggal, dan melepaskan dosis-dosis tunggal berikutnya dalam waktu tertentu setelah pemberian obat
Keuntungan Sediaan Dengan Pelepasan Terkendali
a)      Pengobatan berkesinambungan »» dapat dihindari pemakaian  pada malam hari.
b)      Pemasukan obat ke dalam tubuh terjadi secara tetap dan perlahan »» dapat dihindari terjadinya “puncak dan lembah” plasmatik yang dapat menggagalkan terapi.
c)      Pengurangan atau penekanan efek samping yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan zat aktif pada dosis tinggi yang menyebabkan puncak plasmatik yang tinggi dan diikuti “lembah” plasmatik dengan efek terapetik yang tidak memadai.
d)      Efektifitas tinggi karena kadar efektif dalam darah bertahan lebih lama, terutama untuk zat aktif dengan t ½ biologik singkat (kurang dari 6 jam). »» menghemat obat.
e)      Obat yang diserap dengan proses penjenuhan (misalnya tiamin) akan diserap lebih efektif bila diberikan sebagai sediaan dengan pelepasan perlahan daripada pelepasan obat.
Kerugian pemberian sediaan dengan aksi diperlama yang tidak dapat diabaikan
a)      Risiko terjadinya penumpukan bila laju peniadaan lambat dan obat harus selalu bekerja selama 24 jam.
b)      Kesulitan pengeluaran obat dengan cepat bila terjadi toksisitas gawat atau alergi.
c)      Dapatnya pengeluaran dan keteraturan efek farmakologik tergantung pada laju pengosongan lambung.

d)      Sering terjadi perubahan skema pelapisan zat aktif bila obat tidak seluruhnya ditelan melainkan dipecah, digerus atau dikunyah, dengan resiko terjadi lewat dosis, pelepasan tidak pada tempatnya dan sangat berbahaya terutama bila obat sangat aktif dan selanjutnya terjadi keadaan kurang dosis.

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Perfil