Farmakoterapi LES
TUGAS FARMAKOTERAPI
PENYAKIT LUPUS
ASFY NURANY
AYU LESTARI CAHYANIGSIH
FARAH AFIFAH
WAFA AUFIA
NIDA FARADISA
NURSALINDA
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
NGAWI
2016
A.
Pendahuluan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
merupakan kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem imunologi yang dapat
menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus Eritematosus didefinisikan sebagai
gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. LES
tergolong penyakit kolagen vaskular, yaitu suatu kelompok penyakit yang
melibatkan sistem musculos keletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak
manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Tingkat LES
sangat bervariasi antar negara, etnis, usia, gender, dan perubahan dari waktu ke
waktu. Penyakit ini terjadi 9 kali lebih sering pada wanita dibanding pada pria,
terutama pada wanita di usia melahirkan anak sekitar 15 sampai 35 tahun.
Penyebab LES masih belum diketahui
secara pasti. Sedikit keraguan bahwa penyakit ini diperantarai oleh respons imun
abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di
dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang terlihat pada lupus
eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat autoimun, meskipun terdapat
bukti adanya pengaruh virus dan genetik. Etiologi lain yang
didugadapatmenyebabkan LES antara lain induksi obat, genetik, dan virus.
Gejala paling sering pada LES adalah
pada sistem musculoskeletal, berupa arthritis atau arthralgia (93%) dan seringkali
mendahului gejala-gejala lainnya. Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan
pada 85% kasus LES, kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus LES. Kelainan lain
dapat berupa jantung, paru, abdomen, pembesaran kelenjar getah bening sering atau
manifestasi neuropsikiatrik.
Untuk membedakan lupus dengan penyakit
lain, ahli medis dari American Rheumatism Association telah menetapkan 11
kriteria kelainan yang terjadi dalam mendiagnosis LES yaitu bila 4 poin dari 11
manifestasi kelainan. Kriteria ini dikemukakan oleh Dr. Graham Hughes pada tahun
1982 yaitu ruam malar, ruam diskoid, foto sensitifitas, ulser pada rongga mulut,
artritis, serositis, gangguan pada ginjal, gangguan pada sistem saraf, gangguan
perdarahan, gangguan imunologis, dan antibodi antinuclear.
B.
Epidemologi
Prevalensi LES diberbagai Negara
sangat bervariasi antara 2.9/100.000- 400/100.000. dalam 30 tahun terakhir, LES
telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. LES lebih sering ditemukan
pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor
ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. LES dapat
ditemukan pada semua usia, namun paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa
reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan pria yaitu berkisar
(5,5-9) : 1. Pada LES yang disebabkan obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2
C.
Etiologi
Etiologi utama LES belum diketahui
pastinya, namun terdapat beebrapa faktor yang dapat berperan dalam patogenesis terjadinya
penyakit ini,meski belum diketahui faktor yang paling dominan diantara faktor-
faktor tersebut, berikut ini beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya
penyakit LES
1.
Faktor
Genetik
Berbagai gen dapatberperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita LES telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.
Sekitar 2-5% anak kembar dizigot beresiko menderita LES, sementara pada kembar
monozigot, resiko terjadinya LES adalah 58%. Resiko terjadinya LES pada
individuyang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum.
Adapun beberapa studi menegenai genome yang menunjukkan
identifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan LES. MHC
(Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA-DR2 (Human Leukosit
Antigen-DR2) telah dikaitkan dengan timbulnya LES. Selain itu, kekurangan pada
struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor resiko tertinggi yang
dapat menimbulkan LES. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan
beresiko menderita LES. Di kaukasia juga dilaporkan bahwa defisiensi varian S
dari struktur komplemen reseptor 1, akan beresiko lebih tinggi menderita LES.
2.
Faktor
Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun,
yaitu :
a.
Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
PresentingCell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapareseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupunfungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal inimenyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenaliperintah dari sel T.
b.
Kelainan
intrinstik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B akan teraktifasi
menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen
dan memberikan respon autoimun, sel T dan sel B juga akan sulit mengalami
apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobin dan auto antibodi menjadi
tidak normal.
c.
Kelainan
antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada LES,
sepertisubstrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagi antigen
dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
3.
Faktor
Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LES.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat
estrogem yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen
yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor terjadinya LES.
4.
Faktor
Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya LES. Faktor lingkungan
tersebut terdiri dari:
a.
Infeksi
virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya LES. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella
b.
Paparan
sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit LES dapat kambuh atau bertambah
berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi ditempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah.
c.
Stress
Stress berat dapat memicu terjadinya LES pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakt ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh
akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stress. Stress sendiri tidak akan
mencetuskan LES pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
d.
Obat-obatan
Obat pada pasien LES dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya adalah kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid dan isoniazid.
D.
Patofisiologi
Pada pasien(Systemic Lupus Erythrmatosus) SLE terjadi
gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel
yang imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen
spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri,
antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu
protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)
atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel
B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di
permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat
merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara
sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD
40, CTLA-4 (Joseph T. DiPiro et al. 2008).
Berdasarkan
profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi
mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan
membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya
IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1
sehingga mengganggu cell-mediated
immunity.
Sel
T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap
rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T.
Abnormalitas dan diregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa
gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi
seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan
sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang
berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin,
IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga meningkatkan
heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel
B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan
akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan
peningkatan sel B terutama berhubungan dengan
subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi
dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Sweetman, Sean C. 2002).
Berkurang
jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga
signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam
menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum
disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi
autoantibodi (Joseph T. DiPiro et al. 2008).
Ciri
khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan
tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga
menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu
pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan
dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan
jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang
terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan
jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan
menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau
autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan
menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan
jaringan (Joseph T. DiPiro et al. 2008).
Gangguan
sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan
kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa.
Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga
fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen
komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan
antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada
berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan
reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada
organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit, dan sebagainya (Joseph T. DiPiro et al. 2008).
Pada
pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel
keratonosit) atau beberapa obat (seperti
klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan
jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami
apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma.
Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada
saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan
dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen
komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran
seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36,
CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin
antiinflamasi. Sedangkan pada
SLE yang terjadi
adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan
reseptor FcγR yangakan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan
apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan
apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Joseph T. DiPiro et al.
2008).
E.
Tanda dan Gejala
1.
Adanya
bercak merah pada wajah
2.
Penderita
merasa lelah dan lemah
3.
Merasa
tidak enak badan
4.
Sering
mengalami kejang
5.
Kepala
terasa sakit
6.
Ruam
kulit yang diperburuk oleh sinar matahari
7.
Nyeri
otot
8.
Radang
sendi
F.
Diagnosis
Diagnosis LES adalah berdasarkan
pada ciri khas dari penyakit. Pasienharus ada paling tidak 4 dari 11 ciri khas
dari penyakit. Biasanya akan diauskultasiuntuk mendengarkan suara heart
friction rub atau pleural friction rub. Selain itu, ujian neurologis juga akan
dilakukan. Tes yang digunakan untuk mendiagnosa LESdapat meliputi tes antibodi
(ANA panel, Anti-double strand (ds) DNA,Antiphospholipid antibody, dan
Anti-Smith antibody), dan CBC (complete bloodcount) untuk menunjukkan jumlah
sel darah putih, hemoglobin, atau platelet. Selainitu, sinar-X dada untuk
menunjukkan pleuritis atau perikarditis. Juga dilakukanbiopsy ginjal dan
pemeriksaan urin untuk menunjukkan darah atau protein dalamurin. (Borigini, M.J,
2010)
G.
Tatalaksana Terapi
a.
Farmakologik
Tidak ada obat untuk LES tetapi
pengobatan ditujukan untuk mengontrolgejala berdasarkan gejala individual.
Penyakit ringan yang melibatkan ruam, sakitkepala, demam, artritis, pleuritis,
dan perikarditis tidak memerlukan terapi banyak.Biasanya OAINS digunakan untuk
mengobati rematik dan pleuritis. Krimkortikosteroid digunakan untuk mengobati
ruam kulit. Obat antimalaria (hidroksiklorokuin) dan kortikosteroid dosis
rendah kadang-kadang digunakan untuk gejala kulit dan artritis. Kortikosteroid
atau obat untuk mengurangi responsistem kekebalan tubuh mungkin diresepkan
untuk mengontrol gejala lain. Obatsitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan
sel) digunakan untuk mengobati orang yang tidak merespon dengan baik terhadap
kortikosteroid, atau yang tidak dapat berhenti mengkonsumsi kortikosteroid
tanpa gejala mereka semakin buruk.(Borigini, M.J., 2010)
b.
Non
farmakologik
Secara
non farmakologi, pasien disuruh memakai pakaian pelindung, kacamatahitam, dan
tabir matahari ketika di bawah sinar matahari. (Borigini, M.J., 2010)
H.
Reference
Joseph T. DiPiro et al. 2008. Pharmacoterapy A Pathophysiologic
Approach seventh edition. McGrawHill : Companies Inc. USA.
Sweetma, Sea C. 2002. Martindale The Complete Drug Reference
Thirty-Third Edition. London. Chicago: Pharmaceutical Press.
Borigini, M.J. 2010. Systemic Lupus Erythematosus. Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.html.
Perhimpunan Parahitna Malang. 2011. Penyakit Lupus: Diagnosis Dan
Penatalaksanaannya. Artikel dikirim Oleh Humas pada 31 Oktober 2011. Malang.
Sukmana, Nanang. Lupus Eritematosus Sistemik. Imunopatogenesis dan
Penatalaksanaan. Subbagian Alergi-Imunologi klinik. Bagia Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM. Jakarta.
21.32 | Label: Farmakoterapi | 0 Comments
Suspensi dan Emulsi
SUSPENSI
· Suspensi adalah sediaan yang mengandung
bahan obat padat dalam bentuk halus dan tidak larut, terdipersi dalam cairan
pembawa. Nama lain suspensi yaitu : mikstur kocok / mixturae Agitandae.
· Jenis-jenis suspensi : suspensi oral,
suspensi topikal, suspensi tetes telinga, suspensi optamik, suspensi untuk
injeksi, suspensi untuk injeksi terkonstitusi.
· Kegunaan suspensi dalam farmasi :
-
Intramuskuler
injeksion misalnya suspensi penicillin G
-
Tetes
mata misalnya suspensi hydrokortisone
-
Per
oral misalnya suspensi sulfa/kemicetine
-
Rektal
misalnya suspensi para nitro sulphathiazole
·
Kelebihan
suspensi :
-
Baik
untuk pasien yg sulit menelan
-
Mudah
diabsorpsi
-
Homogenitas
tinggi
-
Rasanya
lebih baik
-
Mengurangi
penguraian zat aktif
·
Kekurangan
suspensi :
-
Kestabilan
rendah (pembentukan kristal)
-
Terbentuk
‘cacking’
-
Alirannya
lebih susah dituang dibandingkan sediaan larutan biasa
-
Ketepatan
dosis rendah dibandingkan larutan
-
Sering
terjadi perubahan sistem dispersi karena perubahan suhu
-
Hars
dikocok terlebih dahulu
·
Ketentuan
sediaan suspensi :
-
Suspensi
obat suntik harus steril, mudah disuntikkan dan tidak menyumbat jarum suntik.
-
Suspensi
obat mata harus steril dan zat yang terdispersi harus sangat halus
-
Untuk
dosis ganda harus mengandung bakterisida
-
Pada
etiket tertera: ‘kocok dahulu’, dan disimpan dalam wadah tertutup baik dan
disimpan ditempat sejuk.
-
Tidak
boleh diinjeksikan secara intravena dan intratekal
·
Syarat-syarat
zat terdispersi :
-
Harus
halus
-
Tidak
boleh cepat mengendap
-
Bila
dikocok segera terdispersi kembali
-
Kekentalannya
harus menjamin sediaan mudah dikocok
Stabilitas
suspensi
1.
Ukuran partikel
-
Makin
kecik ukuran partikel, makin besar luas penampangnya, daya tekan ke atas
semakin besar akan memperlambat gerakan partikel untuk mengendap.
-
Makin
besar ukuran partikel, makin kecil luas penampangnya, daya tekan keatas semakin
kecil akan mempercepat gerakan partikel untuk mengendap.
-
Jadi
untuk memperlambat laju pengendapan, dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran
partikel dengan menggunakan mixer, homogenizer, colloid mill, dan mortir.
2.
Kekentalan (viskositas)
Dengan
menambah kekentalan (viskositas) cairan, gerakan turun partikel yang
dikandungnya akan diperlambat (laju pengendapan diperlambat), sehingga suspensi
tetap stabil. Tapi kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar sediaan
mudah dikocok dan dituang.
3.
Jumlah partikel (konsentrasi)
Jika
didalam suatu ruangan terdapat patikel dalam jumlah besar, maka partikel akan
sulit melakukan gerakan bebas karena sering terjadi benturan antara partikel
tersebut, benturan ini akan mengakibatkan terbentuknya endapan zat tersebut. Semakin besar konsentrasi partikel,
semakin besar pula kemungkinan terjadinya endapan partikel dalam waktu cepat.
4.
Sifat atau muatan partikel tersuspensi
Suatususpensikemungkinanbesarterdiridaricampuranbahan
yang sifatnyatidakselalusama. Makaadakemungkinanterjadiinteraksiantarbahan yang
menghasilkanbahan yang
sukarlarutdalamcairantersebut.Sifatdanmuatanpartikelmerupakanbawaanalam yang
tidakdapatdiubah.Sehingga yang
dapatkitalakukanadalahdenganmenyesuaikanukuranpartikeldanmengubahviskositassediaan.
5.
Flokusai dan deflokulasi
Ketidakstabilan
suatu suspensi menyebabkan suspensi dapat mengalami pengendapan dan
penggumpalan partikel. Tipe pengendapan yang dapat terjadi adalah flokulasi dan
deflokulasi.
·
KANDUNGAN SUSPENSI
a.
bahan
aktif / terdspersi à tidak larut dalam pelarut yang tersedia
b.
bahan
pensuspensi à menaikkan kekentalan agar zat terdipersi
tidak cepat larut. Bahan pengantal yang biasa digunakan misalnya pulvis
gummosus. Biasanya diatur (Untuk obat
berkhasiat keras disuspensi dengan Pulvis Gummosus sebanyak 2 % dari jumlah
cairan obat minum.Untuk obat tidak berkhasiat keras disuspensi dengan Pulvis
Gummosus sebanyak 1 % dari jumlah cairan obat minum)
Suspending
agent
Suspending agent dari alam
|
Suspending
agent sintesis
|
Acasia
|
Metil selluolas
|
Chondrus
|
Karboksimetilselulosa
|
Tragakan
|
Hidroksimetilselulosa
|
Algin
|
Carbophol 934
|
Bentonit
|
|
veegum
|
|
c. surfaktan
(wetting agent) àPenggunaan surfaktan diperlukan untuk
menurunkan tegangan antar muka antara partikel padat dan cairan pembawa,
menurunkan sudut kontak dan pembasahan akan dipermudah. Contoh surfaktan yang
sering digunakan: gliserin, propilenglikol,koloid gom.
d.
Pemanis àkarena
sediaan ini untuk diminum, maka diperlukan pemberi rasa enak atau pemanis.
Biasanya digunakan sirup simpleks.
e. Antibakteri
àUntuk sediaan dosis ganda hususnya untuk
sediaan tetes mata. Yang umumdigunakanbutil, etil, ataupropilparabenzoat, nipagin, nipasol
·
Cara mengerjakan obat dalam suspensi :
a. Metodedispersi
Metodeinidilakukandengancaramenambahkanserbukbahanobatkedalammucilago
yang telahterbentuk, kemudianbarudiencerkan.
b. MetodePresipitasi
Zat yang
akandidispersikandibasahkandahulukedalampelarutorganik yang
hendakdicampurdengan air. Setelahlarutdalampelarutorganik,
larutanzatinikemudiandiencerkandenganlarutanpensuspensidalam air.
c. Cairanorganik :etanol, propilenglikol, polietilenglikol.
Contoh resep suspensi
R/ Solut.
Gummosi 4 % 90
Iodoformi 3
Chlorali Hydras 7
m.f.clysma
Penyiapan:
Buat solut.Gummosi 4 % yaitu 4 gr
Pulvis Gummosus dalam 100 ml air.
Iodoformi 3 gr digerus dengan
sedikit air sampai halus
Campur kedua bahan diatas dan
digerus.
Tambahkan Chlorali Hydras.
SEDIAAN CAIR
·
Larutan
oral yaitu berupa elixir, linktus, syrup, mikstura, spirit, pediatrik drop,
gargles dan mouth washes, enemas and douches, external solution (lotion &
liniments).
·
Sediaan
larut adalah sediaan cair yg mengandung satu atau lebi bahan obat yg terlarut
didalamnya. Pada umumnya pelarut yg digunakan adalah air, karena tidak toksik,
tidak mengiritasi, tidak berasa, murah dan obat pd umumnya adalah larut air.
·
Keuntungan
sediaan larutan :
-
Absorpsinya
lebih cepat
-
Konsentrasinya
tetap untuk setiap unit dosis
-
Dapat
didisain untuk berbagai rute pemberian dan absorpsi (sediaan parentheral
(injeksi), enema (melalui dubur), tetes mata, topikal (kulit)).
-
Tidak
perlu dikocok terlebih dahulu
-
Lebih
mudah ditelan.
·
Kekurangan
sediaan larutan :
-
Stabilitas obat
terkadang menurun
karena adanya
reaksi solvolisis, hidrolisis atau
oksidasi.
-
Terkadang susah
untuk menutupi rasa meskipun sudah
ditambahkan dengan
perasa.
-
Susah dibawa-bawa dan
mudah pecah.
-
Diperlukan ketepatan volume pemberian agar tidak ada
kesalahan dosis.
-
Beberapa obat
susah larut
-
Memerlukan sendok
takar
·
Prinsip
umum dalam pembuatan sediaan larutan yaitu :
a.
kelarutan
-
Apakah semua
bahan bias
larut sempurna
dalam sediaan?
-
Berapa banyak
obat akan
terlarut?
-
Berapa lama obat akan
terlarut sempurna?
-
Setelah larut, akankah obatnya
tetap dalam
larutan dan
untuk berapa lama?
-
Beberapa hal yang bias
membantu kelarutan: ukuran partikel, pengadukan, viskositas rendah, pemanasan.
b.
Stabilitas
-
Apakah obat
atau semua
komponen dalam
larutan stabil
dengan pemanasan?
-
Apakah cukup
stabil secara
kimia?
-
Apakah stabil
selama penyimpanan?
-
Apakah stabil
terhadap mikroba?
-
Apakah perlu
pengawet?
·
Perhatian
khusus dalam pembuatan sediaan larutan yaitu :
-
Bahan obat
dan bahan
lain dilarutkan
terlebih dahulu
sebelum penaik
viskositas ditambahkan.
-
Larutkan
semua bahan dalam bentuk garamnya dalam sedikit air sebelum ditambahkan komponen
pelarut yang lain jika ada.
-
Dalam larutan yang kompleks, larutkan bahan yang larut air dalam pelarut air sedang bahan
organic dilarutkan
dalam pelarut
organik.
-
Larutan air
dicampurkan kedalam larutan
organic secara
perlahan sambil
diaduk.
·
Larutan oral :
1.
Eliksir
Eliksir
adalah sediaan cair oral yang mengandung konsentrasi gula yang tinggi dan pelarut
bukan air (alkohol, glycerin atau propylenglikol) dalam jumlah yang hampir sebanding
dengan pelarut air atau ditambahkan bahan penambah kelarutan.
2. Linktus
Sediaan
cair oral yang ditujukan untuk kegunaan sebagai espektoran atau obat tidur atau
obat batuk. Sediaan ini diharapkan mengalir perlahan di tenggorokan untuk mengencerkan
dahak karena itu sediaannya perlu agak kental dan mengandung pemanis.
3.
Syrup
Sediaan
cair oral konsentrat yang kental mengandung satu atau lebih pemanis
4.
Mikstura
Sediaan
cair yg simpel yg ditujukan kegunaan oral, mengandung satu atau lebih obat yg
terlarut.
5.
Spiritus
Adalah larutan yang mengandung satu
atau lebih
bahan obat yang terlarut dalam
etanol absolute
atau dalam
etanol encer.
6.
Pediatrik drops
Sediaan
cair oral yang
ditujukan unutk pasien
anak atau
untuk pasien yang susah menelan. Formulasinya di
disain dengan volume dosis yang kecil yang diberikan dengan
alat tetes
terukur.
7.
Gargle dan obat kumur
Larutan aquades yang ditujukan untuk pengobatan
tenggorokan (gargle) dan mulut (kumur) dan umumnya diformulasikan dalam bentuk konsentrat.
Karena itu perlu ditambahkan air terlebih dahulu dan perlu perhatian apakah obatnya
bisa ditelan atau tidak.
8.
Enema dan douches
Sediaan
cair yang umumnya diformulasikan sebagai larutan (meskipun bisa juga dibuat dalam
bentuk emulsi atau suspensi) yang ditujukan untuk dimasukkan dalam dubur
(enema) atau lubang tubuh lainnya seperti vagina atau hidung (douch).Volume
yang digunakan bervariasi dari 5 ml sehingga volume besar.
·
Larutan eksternal :
1.
Lotion
Lotion
adalah larutan meskipun mungkin juga berupa suspensi atau emulsi, yang
ditujukan untuk digunakan pada kulit.
2.
Liniment
Sediaan
cair yang ditujukan untuk disapukan kekulit atau untuk massa jpada kulit untuk mendapatkan
efek analgesik atau efek stimulasi. Pada umumnya larutan berupa minyak, alkohol
atau sabun dan biasanya diformulasikan dalam bentuk emulsi.
·
Labeling :
-
Untuk gargle dan obat
kumur, beri
label: Jangan Ditelan atau
Jangan Ditelan
dalam Jumlah
Banyak.
-
Untuk inhalasi
atau tetes
hidung:
‘Jangan Ditelan’
-
Enema: Untuk Digunakan di DuburSaja
-
Untuk Semua
Sediaan Luar: Untuk
Kegunaan Luar
Saja.
SEDIAAN
EMULSI
Emulsi adalah suatu sistem yang tidak
stabil secara termodinamika yang mengandung paling sedikit dua fase cair yang
tidak bercampur, satu diantaranya didispersikan sebagai globul dalam fase cair
lain. Sistem ini dibuat stabil dengan bantuan suatu zat pengemulsi atau
emulgator (Martin, 1993).
Pada emulsi farmasetik, fasa yang
digunakan biasanya air dan fasa yang lainnya adalah minyak, lemak, atau zat-zat
seperti lilin
(Lund, 1994).
·
Memiliki
sistem dua fase cairan :
a.
Fase
terdispersi/ fasa dikonstinu/ fasa diam
b.
Fasa
pendispersi/ fasa eksternal/ fasa kontinu/ fasa bergerak
-
Makro
emulsi ( susu sapi, santan kelapa, lateks, kuning telur) :
ü Ukuran globula 0,10-0,15 m
ü Tampak berwarna opaque dan keruh
ü Kurang stabil
-
Mikro
emulsi ( colloid mill) :
ü
Transparan
ü
Relatif
lebih stabil
Orientasi molekuler emulsifier
·
Tujuan
pembuatan emulsi adalah untuk Membuat sediaan obat yang larut dalam air maupun
minyak dalam satu campuran.
·
Emulsi
berdasar penggunaannya:
a. Emulsi untuk pemakaian dalam
(peroral), biasanya emulsi type o/w
b. Emulsi untuk pemakaian luar, biasanya
type o/w atau w/o
·
Keuntungan
sediaan emulsi :
-
Dapat
membentuk sediaan yang saling tidak tercampur menjadi bersatu membentuk sediaan yang homogen dan stabil.
-
Bagi orang yang susah menelan tablet dapat
menggunakan sediaan emulsi
-
Dapat
menutupi rasa tidak enak obat dalam bentuk cair.
-
Ukuran
partikel minyak yang diperkecil lebih mudah dicerna dan dapat mempermudah
absorbsi
-
Viskositas,
penampilan dan banyaknya lemak dari emulsi kosmetik bisa di kontrol.
-
Aksi
dapat diperpanjang dan efek emolient lebih besar
·
Kekurangan
sediaan emulsi :
-
Pembuatan
sediaan emulsi lebih susah daripada sediaan tablet.
-
Sediaan
emulsi mempunyai stabilitas yang rendah daripada sediaan tablet, karena cairan
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri.
-
takaran dosis sediaan emulsi kurang teliti.
·
Type
emulsi :
a.
Emulsi
minyak dalam air (M/A)
Adalah
sistem dengan fasa terdispersinya (fasa diskontinu) adalah minyak dan fasa
pendispersinya (fasa kontinu) adalah air. Contoh : susu, lateks, mayonaise, es
krim, santan, lotion, salad dressing, cat.
b.
Amulsi
air dalam minyak
Emulsi
air dalam minyak (A/M) adalah emulsi dengan air sebagai fasa terdispersi dan
minyak sebagai fasa pendispersinya. Contohnya : mentega, shortening, cream,
selai kacang, semir, margarin, lipstik, coklat batangan, sabun padat.
·
Metode
pembuatan emulsi :
1. Metode gom keringdisebut pula metode
continental dan metode 4;2;1.
-
Emulsi
dibuat dengan jumlah 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian emulgator.
-
Pertama-tama
gom didispersikan kedalam minyak, lalu ditambahkan air sebagian dan diaduk
/digerus dengan cepat dan searah hingga terbentuk korpus emulsi. Setelah
terbentuk korpus emulsi kemudian sisa air ditambahkan sedikit demi sedikit
hingga habis sambil diaduk.
2. Metode gom basah disebut pula sebagai
metode Inggris
-
cocok
untuk penyiapan emulsi dengan mucilago atau melarutkan gum sebagai emulgator,
dan menggunakan perbandingan 4;2;1 sama seperti metode gom kering.
-
Metode
ini dipilih jika emulgator yang digunakan harus dilarutkan/didispersikan
terlebuh dahulu kedalam air misalnya metilselulosa.
-
1
bagian gom ditambahkan 2 bagian air lalu diaduk, dan minyak ditambahkan sedikit
demi sedikit sambil terus diaduk dengan cepat.
3. Metode botol disebut pula metode
Forbes.
-
Metode
ini digunakan untuk emulsi dari bahan-bahan menguap dan minyak-minyak dengan
kekentalan yang
-
Emulsi
dibuat dengan pengocokan kuat dan kemudian diencerkan dengan fase luar.
-
Dalam
botol kering, emulgator yang digunakan ¼ dari jumlah minyak. Ditambahkan dua
bagian air lalu dikocok kuat-kuat, suatu volume air yang sama banyak dengan
minyak ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus dikocok, setelah emulsi
utama terbentuk, dapat diencerkan dengan air sampai volume yang tepat.
·
Metode
untuk membedakan antara emulsi o/w dan emulsi w/o :
1. Penampakan visual
-
Emulsi o/w biasanya berwarna putih dan agak creamy
-
Emulsi w/o bewarna lebih gelap dan menunjukkan tekstur minyak
2. Metode Dilusi
Meneteskan emulsi dalam permukaan air dan minyak
-
Emulsi o/w jika penyebarannya sempurna
-
Emulsi w/o jika tidak terjadi perubahan dan tetesan emulsi tadi mengapung di permukaan air
3. MetodePewarnaan
Dapat digunakan dua jenis zat warna berdasarkan sifat kelarutannya yakni yang larut dalam air dan yang larut dalam minyak
ü Jika yang digunakan zat warna yang larut dalam air
- Emulsi tipe o/w jika antara emulsi dan zat warna dapat tercampur dengan merata
- Emulsitipe w/o jika antara emulsi dan zat warna tidak dapat tercampur rata
ü Jika zat warna yang digunakan zat warna yang larut dalam minyak
- Emulsi yang dapat tercampur merata adalah tipe w/o
- Emulsi
yang tidak dapat tercampur merata adalah tipe o/w
4. metode penyerapan :
- Digunakan kertas filter yang berdasarkan sifat kapilaritas air yang lebih tinggi dari pada minyak, misal CoCl2
-
Benda dengan permukaan licin dapat digunakan dengan mengamati kecepatan alir emulsinya
-
Jika tetesan emulsi ini tersebar berarti emulsi ini bertipe
o/w dan jika tidak tersebar merata berarti emulsinya bertipe w/o
4. Metode Konduktivitas
-
Dengan menggunakan dasar bahwa air memiliki resistensi
yang rendah dan konduktivitas yang tinggi, sehingga emulsi tipe o/w menunjukkan
nilai seperti di atas.
-
Untuk emulsi tipe w/o maka akan menunjukkan nilai resistensi tinggi dan konduktivitas yang lebih kecil.
5. Metode Flourensi Cahaya
-
Metode ini berdasarkan sifat cairan dalam memfluoresensi cahaya.
-
Minyak merupakan cairan yang mampu memfluoresensi cahaya lebih baik
dibandingkan dengan air sehingga emulsi w/o ditunjukkan apabila cahaya yang
dilalui pada emulsi dapat terflouresensi dengan jelas.
-
Kebalikannya, emulsi o/w jika cahaya tidak dapat terfluoresensi dengan jelas
·
Pemilihan
zat pengemulsi dalam suatu formulasi emulsi biasanya didasarkan pada
pertimbangan stabilitas selama penyimpanan, jenis emulsi yang akan dihasilkan,
dan harga zat pengemulsi tersebut dari segi ekonomisnya (Agoes, 1990).
·
Zat
pengemulsi :
1. Surfaktan
Senyawa
ini memiliki mekanisme kerja menurunkan tegangan antar muka minyak dan air
dengan membentuk lapisan film monomolekuler pada permukaan globul fase
terdispersi. Ada beberapa jenis surfaktan berdasarkan muatan ionnya, yaitu
surfaktan anionik, surfaktan kationik, dan surfaktan non ionik.
-
Surfaktan
anionik, contohnya Na-lauril sulfat, Na-oleat, dan Na-stearat.
-
Surfaktan
kationik contohnya Zehiran klorida dan setil trimetil amonium bromida.
-
Surfaktan
non ionik, contohnya Tween 80 dan Span 80.
2. Koloid Hidrofil
-
Zat
pengemulsi ini diadsorpsi pada antar muka minyak-air dan membentuk lapisan film
multimolekuler di sekeliling globul terdispersi.
-
Beberapa
contoh kelompok ini adalah protein, gom, amilum dan turunan dari zat sejenis
dekstrin, metil selulosa, dan beberapa polimer sintetik seperti polivinil
alkohol.
3.
Partikel
Padat Halus Tidak Larut
Zat pengemulsi ini akan teradsorpsi pada antar
muka minyak-air dan akan membentuk lapisan film mono dan multimolekuler oleh
adanya partikel halus yang teradsorpsi pada antar muka minyak-air. Contohnya
adalah bentonit dan veegum.
·
Ketidakstabilan
emulsi :
-
FlokulasiàPeristiwa terbentuknya kelompok-kelompok
globul yang posisinya tidak beraturan di dalam emulsi.
-
CreamingàMerupakan suatu peristiwa terjadinya
lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi.
-
KoalesenàPeristiwa terjadinya penggabungan
globul-globul menjadi lebih besar.
-
DemulsifikasiàTerjadi akibat proses lanjutan dari koalesen
-
Inversi
fasa àTerjadi bila emulsi yang semula merupakan
emulsi minyak dalam air berubah menjadi emulsi air dalam minyak.
·
Evaluasi
emulsi :
1. Pemeriksaan organoleptik
Dilakukan
dengan mengamati terjadinya pemisahan fasa atau pecahnya emulsi, bau tengik,
dan perubahan warna.
2. Penentuan tipe emulsi
Dilakukan
dengan 2 cara, yaitu uji kelarutan zat warna dan uji pengenceran (Martin, 1990)
-
Uji
kelarutan zat warna dilakukan dengan menggunakan zat warna larut air seperti
metilen biru atau biru brillian CFC yang diteteskan pada permukaan emulsi. Jika
zat warna terlarut dan berdifusi homogen pada fase eksternal yang berupa air,
maka tipe emulsi adalah M/A. Jika zat warna tampak sebagai tetesan di fase
internal, maka tipe emulsi adalah A/M. Hal yang terjadi adalah sebaliknya jika
digunakan zat warna larut
-
minyak
(Sudan III).
-
Uji
pengenceran (Martin, 1990)dilakukan dengan cara mengencerkan emulsi dengan air.
Jika emulsi tercampur baikdengan air, maka tipe emulsi adalah M/A. Sebaliknya
jika air yang ditambahkan membentuk globul pada emulsi maka tipe emulsi adalah
A/M.
3. Freeze and thaw
-
Evaluasi
ini dapat juga dilakukan dengan menyimpan sediaan pada dua suhu yang berbeda
yaitu 4oC dan 40oC selama 6-8 siklus. Satu siklus terdiri
dari penyimpanan selama 48 jam pada suhu 4oC dan 48 jam pada suhu 40oC
-
Emulsi
harus tetap stabil tanpa adanya pemisahan pada suhu 45oC atau 50oC
selama 60 hingga 90 hari, pada suhu 37oC selama 5 hingga 6 bulan,
dan pada suhu kamar selama 12 hingga 18 bulan.
21.29 | Label: Teknologi Farmasi | 0 Comments
Langganan:
Postingan (Atom)
Pages
Diberdayakan oleh Blogger.
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
Archives
-
▼
2016
(12)
-
▼
Desember
(10)
- Farmakoterapi LES
- Suspensi dan Emulsi
- Bentuk Sediaan dan FORMULASI
- Preformulasi
- Rancangan Bentuk Sediaan Farmasetik
- Rancangan formulasi tablet hisap
- Rancangan Formulasi Tablet Effervessent
- FORMULASI SEDIAAN TABLET SALUT ENTERIK NATRIUM DIK...
- Rancangan sediaan Parasetamol
- RANCANGAN BENTUK SEDIAAN TABLET KUNYAH
-
▼
Desember
(10)
Perfil
- Unknown
Archives
-
▼
2016
(12)
-
▼
Desember
(10)
- Farmakoterapi LES
- Suspensi dan Emulsi
- Bentuk Sediaan dan FORMULASI
- Preformulasi
- Rancangan Bentuk Sediaan Farmasetik
- Rancangan formulasi tablet hisap
- Rancangan Formulasi Tablet Effervessent
- FORMULASI SEDIAAN TABLET SALUT ENTERIK NATRIUM DIK...
- Rancangan sediaan Parasetamol
- RANCANGAN BENTUK SEDIAAN TABLET KUNYAH
-
▼
Desember
(10)